TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark

Tradisi Meayunan di Desa Tenganan: Warisan Sakral Bali Aga yang Tetap Lestari

👤 Ngurah Ambara | InfoDewataNews    ðŸ•’ Senin, Juni 02, 2025
Gambar Utama


Dua wanita berbusana adat duduk di atas ayunan kayu tradisional, didampingi dua pria di sisi kanan dan kirinya dalam suasana upacara adat.
[Foto: kolomdesa.com]



INFODEWATANEWS.COM, Karangasem – Pulau Bali dikenal luas bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena tradisi dan budaya yang masih terjaga hingga kini. Salah satu desa kuno yang masih teguh mempertahankan warisan leluhur adalah Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Desa yang termasuk kategori Bali Aga atau Bali Tua ini memiliki berbagai tradisi unik, salah satunya adalah permainan sakral meayunan, sebuah tradisi ayunan yang hanya dimainkan sekali dalam setahun.

Desa Tenganan dan Warisan Leluhur

Desa Tenganan kerap disebut sebagai salah satu desa adat tertua di Bali. Pola pemukiman desa ini masih mempertahankan tata ruang tradisional yang diwariskan turun-temurun. Tenganan juga tersohor sebagai satu-satunya desa penghasil kain gringsing, kain tenun ikat ganda yang diyakini memiliki kekuatan magis dan hanya bisa dibuat di sini.

Selain kain gringsing, daya tarik Desa Tenganan juga terletak pada tradisi adatnya yang sarat makna, salah satunya adalah perang pandan (mekaré-kare) yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Namun, selain perang pandan, ada pula permainan tradisional lain yang tidak kalah unik dan memiliki kedudukan sakral, yaitu tradisi meayunan.

Prosesi Meayunan

Tradisi meayunan hanya dilakukan setahun sekali, tepatnya pada rangkaian upacara adat Usabha Sambah. Upacara ini digelar pada bulan kelima dalam kalender adat Desa Tenganan, atau yang disebut Sasih Sambah. Bulan ini merupakan puncak berbagai kegiatan adat terbesar di desa tersebut.



Dalam prosesi meayunan, sebuah ayunan kayu tradisional dipasang di tengah area desa. Uniknya, ayunan ini tidak bisa langsung digunakan begitu saja. Setelah dipasang, ayunan harus didiamkan selama lima hari dan melalui serangkaian prosesi persembahyangan sebelum akhirnya dipakai. Hal ini menunjukkan bahwa ayunan dianggap sakral dan tidak boleh diperlakukan sembarangan.

Saat prosesi berlangsung, biasanya terdapat delapan gadis belia yang disebut truni daha, duduk berpasangan dalam ayunan tersebut. Di sisi kanan dan kiri tiang ayunan, ada dua pemuda desa yang bertugas untuk memutar ayunan. Ayunan diputar tiga kali ke arah selatan, kemudian dilanjutkan tiga kali ke arah utara, diiringi dengan alunan gamelan selonding, gamelan khas Desa Tenganan yang suaranya menambah nuansa magis dalam prosesi ini.

Makna Filosofis

Tradisi meayunan tidak sekadar permainan rakyat untuk hiburan, melainkan memiliki makna mendalam. Gerakan ayunan yang berputar melambangkan siklus kehidupan manusia. Kadang berada di atas, kadang berada di bawah, sebuah simbol perjalanan hidup yang penuh dinamika.

Selain itu, tradisi ini juga diyakini sebagai sarana menjaga keseimbangan alam semesta. Dengan memutar ayunan, masyarakat Desa Tenganan berharap agar kehidupan mereka senantiasa seimbang, harmonis, dan terhindar dari mara bahaya.

Bagian dari Upacara Usabha Sambah

Tradisi meayunan menjadi salah satu rangkaian utama dalam upacara Usabha Sambah, sebuah upacara besar yang melibatkan seluruh warga desa. Selain meayunan, terdapat pula berbagai ritual adat lainnya, termasuk perang pandan yang sudah mendunia.

Bagi masyarakat Tenganan, Usabha Sambah adalah momentum penting untuk memperkuat ikatan sosial, menjaga warisan leluhur, dan mempersembahkan bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Tidak heran jika tradisi ini masih dijalankan dengan penuh khidmat hingga sekarang.

Daya Tarik Budaya dan Pariwisata

Keunikan tradisi meayunan membuat banyak wisatawan domestik maupun mancanegara tertarik untuk datang menyaksikannya. Meski begitu, masyarakat desa tetap menekankan bahwa acara ini bukan tontonan wisata semata, melainkan ritual adat sakral yang harus dijaga kesuciannya.

Pengunjung yang datang biasanya diperbolehkan menyaksikan prosesi dari jarak tertentu, namun tetap harus menghormati aturan adat yang berlaku. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisata budaya di Bali, karena wisatawan bisa melihat langsung bagaimana masyarakat Bali Aga mempertahankan tradisi leluhur mereka yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Pelestarian Tradisi

Di tengah arus modernisasi yang begitu kuat, tradisi meayunan di Desa Tenganan tetap bertahan. Generasi muda desa turut dilibatkan, baik sebagai truni daha yang ikut dalam ayunan maupun pemuda yang memutar ayunan. Dengan cara ini, nilai budaya dan filosofi dari tradisi meayunan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.

Tradisi ini menjadi bukti bahwa masyarakat Desa Tenganan mampu menjaga identitas budaya mereka. Lebih dari sekadar permainan, meayunan adalah simbol kekuatan adat, kebersamaan, dan spiritualitas masyarakat Bali Aga.

Penulis : Ngurah Ambara /InfoDewataNews


0Komentar

Copyright© - INFODEWATANEWS.COM . Develop by Komunitas Ngranjing.
Tentang Kami | Perjalanan Kami | Makna Logo | Privasi | Syarat dan Ketentuan | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Redaksi | Kontak Kami