TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark
Sejarah Tajen di Bali: Dari Tradisi Majapahit Hingga Polemik Perjudian

Sejarah Tajen di Bali: Dari Tradisi Majapahit Hingga Polemik Perjudian

Daftar Isi
×

 


Sabung Ayam (tajen) image infodewatanews 

INFODEWATANEWS.COM, Bali — Tajen atau sabung ayam merupakan salah satu tradisi kuno masyarakat Bali yang sudah berlangsung sejak zaman Majapahit. Bukan sekadar permainan, Tajen dulunya menjadi bagian dari ritual keagamaan yang sarat makna spiritual. 

Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai mengalami pergeseran makna. Dari ritual yang dulunya digelar untuk tujuan adat dan persembahan, kini Tajen sering diwarnai praktik perjudian. Hal inilah yang memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. 

Di satu sisi, Tajen dianggap sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Di sisi lain, unsur perjudian yang menyertainya justru menimbulkan keresahan sosial.

Bagaimana sebenarnya sejarah panjang Tajen di Bali? Dan bagaimana perkembangannya hingga kini menuai kontroversi? Berikut ulasan lengkapnya.

Jejak Sejarah Tajen di Bali

Permainan Tajen diyakini telah ada sejak masa kejayaan Majapahit. Dalam salah satu naskah kuno, Pararaton, disebutkan bahwa tradisi sabung ayam sudah ada di Bali sejak era kerajaan. Meski tidak disebutkan secara rinci tentang unsur taruhannya, Tajen menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama.

Perkembangan Tajen semakin terasa pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, tepatnya di Kerajaan Gelgel.

Pada periode tersebut, Tajen sering diadakan di area Pura Goa Lawah dan sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Bali, khususnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

Memasuki era kemerdekaan sebelum tahun 1980-an, Tajen tidak hanya berfungsi sebagai bagian dari upacara adat, tetapi juga menjadi sarana penggalangan dana untuk pembangunan desa. Karena sifatnya yang semakin meluas, pelaksanaan Tajen memerlukan izin resmi dari pihak berwenang untuk mengatur penyelenggaraannya.

Makna dan Filosofi Tajen

Dalam e-Jurnal berjudul Hukum Adat Perjudian yang Mempengaruhi Keadaan Sosial di Bali oleh Rendi Apriyansah, dijelaskan bahwa istilah Tajen berasal dari kata taji, yang berarti susuk tajam yang dipasang pada kaki ayam. Dalam bahasa Bali, taji memiliki makna sesuatu yang runcing atau tajam. Oleh karena itu, ayam-ayam yang akan diadu harus dilengkapi dengan taji agar dapat mengalahkan lawannya.

Bagi masyarakat Bali zaman dahulu, Tajen bukan sekadar hiburan. Ritual ini memiliki makna spiritual sebagai media untuk nyomia atau menyucikan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, darah ayam yang tumpah dalam pertarungan dianggap sebagai persembahan suci untuk roh-roh gaib.

Namun, lebih dari sekadar adu ayam, Tajen memiliki dimensi sakral. Dalam konteks ritual, Tajen berfungsi sebagai sarana persembahan dalam upacara adat tertentu, terutama untuk mengembalikan keseimbangan alam atau sebagai bagian dari upacara penyucian.

Tajen dan Tabuh Rah, Dua Hal Berbeda

Di tengah masyarakat, istilah Tajen kerap disamakan dengan Tabuh Rah. Padahal keduanya memiliki perbedaan mendasar.

Tabuh Rah merupakan ritual sakral berupa adu ayam dalam rangkaian upacara keagamaan di pura sebagai persembahan simbolis untuk menolak bala atau membersihkan lingkungan secara spiritual. Darah ayam yang menetes dipercaya sebagai persembahan untuk menjaga keharmonisan alam dan roh roh yang ada alam niskala.

Sementara Tajen sering kali digelar dengan melibatkan unsur taruhan. Dalam praktiknya, banyak arena Tajen yang diadakan murni untuk hiburan dan perjudian, bukan lagi dalam rangka ritual keagamaan.

Perbedaan inilah yang kemudian menjadi dasar munculnya pandangan beragam terhadap Tajen di masyarakat Bali.

Perkembangan Tajen Saat Ini

Seiring bergulirnya waktu, Tajen mengalami perubahan signifikan. Jika dulu sering dilakukan dalam rangkaian upacara adat, kini banyak arena sabung ayam yang digelar di luar konteks ritual. Bahkan di beberapa wilayah, arena Tajen dijadikan ajang perjudian yang diorganisasi oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan ekonomi.

Pemerintah Bali pun beberapa kali melakukan penertiban terhadap arena Tajen ilegal, terutama yang tidak berkaitan dengan kegiatan adat. Dalam beberapa kasus, aparat keamanan menindak tegas praktik perjudian yang berkedok tradisi.

Upaya Pelestarian Tradisi

Di tengah polemik yang ada, masyarakat adat Bali terus berupaya menjaga agar makna Tajen tetap berada pada jalur yang benar, yakni sebagai bagian dari ritual sakral dalam upacara adat. Dalam pelaksanaannya, Tabuh Rah tetap menjadi bagian dari upacara besar di pura-pura, dengan pengawasan ketat dari pihak desa adat.

Namun, di sisi lain, pemerintah dan aparat juga harus bersikap tegas dalam memisahkan antara tradisi sakral dan praktik perjudian yang meresahkan. Hal ini dilakukan demi menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan ketertiban sosial di Bali.

Tajen merupakan salah satu warisan budaya Bali yang memiliki sejarah panjang sejak zaman kerajaan. Namun, perkembangan zaman membawa tantangan tersendiri, terutama terkait dengan unsur perjudian yang menyertainya. Perlu peran aktif masyarakat adat, pemerintah, dan aparat hukum untuk memastikan bahwa Tajen tetap berjalan sesuai makna asalnya—sebagai bagian dari tradisi, bukan sekadar hiburan apalagi perjudian terselubung. (am/id). 


0Komentar

Special Ads
Special Ads
Special Ads