INFODEWATANEWS.COM, KARANGASEM - Di tengah keseharian masyarakat Bali yang kental dengan adat dan budaya, ada satu tradisi yang tak lekang oleh waktu yaitu tradisi Mebat.
Lebih dari sekadar kegiatan memasak, Mebat adalah warisan leluhur yang mencerminkan kebersamaan, gotong royong, dan persaudaraan yang menjadi jiwa masyarakat Bali.
Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang upacara besar seperti Galungan, Kuningan, atau Piodalan di pura maupun saat upacara keagamaan yang dilaksanakan di rumah warga.
Dalam suasana penuh tawa dan canda, para pria bekerja sama menyiapkan berbagai hidangan khas Bali, mulai dari lawar, sate, hingga komoh. Setiap langkahnya dilakukan dengan ketulusan dan kebersamaan yang menyatukan hati. Semangat Menyame Braya dalam Setiap Potongan Daging.
Di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, tradisi Mebat masih hidup hingga kini. Senin, 6 Oktober 2025, di rumah Komang Mayun Yuliana, aroma rempah dan asap dapur menyatu dalam kehangatan suasana pagi. Hari itu, keluarganya menggelar piodalan di Pura Taksu dan Bale Kembar, sekaligus upacara naur sesangi sebuah bentuk syukur atas anugerah yang telah diterima.
Sejak dini hari, halaman rumah telah dipenuhi keluarga dan warga yang datang membantu. Ada yang memotong daging, ada yang menyiapkan bumbu base gede, dan ada pula yang menata perlengkapan dapur dengan rapi.
Di tengah keramaian itu, tawa dan canda terdengar bersahut-sahutan tanda semangat menyame braya yang masih kuat dipegang oleh masyarakat Desa Dukuh. Komang Mayun Yuliana, selaku tuan rumah, tampak ikut memantau jalannya Mebat dengan senyum hangat.
“Tradisi ini bukan hanya tentang memasak. Bagi kami, Mebat adalah cara untuk menyatukan keluarga dan tetangga. Semua ikut membantu dengan sukarela, dan itu yang membuat suasananya penuh berkah,” ujarnya saat ditemui di sela-sela persiapan upacara.
Menurutnya, kegiatan Mebat menjadi bagian penting dalam setiap piodalan, karena dari sinilah semangat kebersamaan tumbuh dan diwariskan kepada generasi muda.
“Kalau semua dilakukan bersama, rasa capek itu tidak terasa. Yang ada hanya rasa syukur dan kebahagiaan karena bisa bekerja bersama-sama,” tambahnya.
Kepala Tukang Mebat, Menjaga Rasa, Menjaga Warisan
Dalam tradisi Mebat, ada sosok yang memegang peran penting, yakni kepala tukang mebat orang yang memimpin proses memasak agar semua berjalan sesuai adat dan rasa. Di acara kali ini, peran itu dipegang oleh Wayan Jepri, warga setempat yang sudah berpengalaman memimpin kegiatan serupa.
Dengan lihai, Wayan Jepri mengatur irama kerja. Ia memastikan potongan daging sesuai ukuran, bumbu base gede tercampur sempurna, dan api dapur tetap stabil agar masakan matang merata.
“Mebat bukan hanya soal rasa, tapi soal hati. Kalau hatinya gembira dan tulus, rasa lawarnya pasti enak,” ucapnya sambil tertawa kecil, tangannya tetap sibuk mengaduk lawar merah yang sedang disiapkan.
Ia menambahkan, dalam setiap kegiatan Mebat selalu ada makna spiritual — bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga menyucikan niat dan mempererat hubungan sosial.
“Kami semua bekerja dengan semangat kebersamaan. Tidak ada yang diperintah, semua datang membantu dengan hati. Itulah yang membuat Mebat ini hidup,” katanya dengan nada penuh makna.
Gotong Royong yang Tak Pernah Pudar
Salah satu warga, Ketut Sutawa, mengaku senang bisa ikut bergotong royong dalam acara Mebat ini. Ia menilai kegiatan seperti ini menjadi ajang mempererat hubungan antarwarga yang mungkin jarang sempat berkumpul karena kesibukan.
“Mebat ini tempat kami berkumpul. Sekaligus melatih anak-anak muda agar mereka tahu bagaimana cara bekerja bersama dan saling membantu. Dulu orang tua kami seperti ini juga dan kami ingin teruskan,” tuturnya sambil tersenyum.
Suasana gotong royong begitu terasa. Para pria di dapur sibuk dengan wajan dan pisau, sementara di sudut lain, ibu-ibu menyiapkan banten dan minuman. Semua berjalan dengan penuh koordinasi dan harmoni seperti satu keluarga besar yang disatukan oleh adat dan rasa bakti.
Warisan Leluhur yang Terus Hidup
Bagi masyarakat Bali, Mebat bukan hanya tradisi kuliner, melainkan wujud filosofi hidup. Dalam setiap bumbu dan potongan daging, tersimpan nilai menyame braya kebersamaan yang tulus tanpa pamrih.
Tradisi ini juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai spiritual, disiplin, dan kerendahan hati kepada generasi muda. Komang Mayun Yuliana berharap tradisi ini tidak akan pudar di tengah arus modernisasi.
“Sekarang zaman sudah berubah, tapi kami ingin anak-anak tetap mengenal adat dan budaya. Selama ada kebersamaan, Mebat akan tetap hidup,” ujarnya.
Harmoni yang Menghidupkan Bali
Menjelang siang, aroma masakan mulai memenuhi udara. Lawar sudah matang, sate siap dibakar, dan suasana dapur penuh tawa serta kebersamaan.
Setiap orang menikmati hasil kerja mereka dengan bangga dan rasa syukur. Di sanalah, makna sejati dari Mebat terasa bukan sekadar makanan, melainkan perayaan atas persaudaraan dan harmoni.
“Inilah Bali yang sebenarnya,” kata Wayan Jepri sambil tersenyum.
“Makanannya boleh sederhana, tapi rasanya penuh cinta.”

0Komentar