![]() |
| Ilustrasi pertarungan epik antara Dewa Indra dan Raja Mayadanawa, digambarkan dalam suasana langit mendung dengan kilatan petir yang menyambar di medan laga. (Visual AI Ambara / InfoDewataNews) |
INFODEWATANEWS.COM, DENPASAR — Hari Raya Galungan selalu menghadirkan suasana damai yang khas di seluruh Bali. Penjor yang melengkung anggun, harum dupa dan canang sari, serta vibrasi spiritual yang memenuhi udara membuat hari suci ini terasa sangat istimewa. Bagi umat Hindu, Galungan bukan sekadar hari libur keagamaan, tetapi simbol kemenangan Dharma kebenaran atas Adharma, atau kekacauan.
Di balik nuansa teduh yang dirasakan setiap enam bulan sekali ini, tersimpan sebuah legenda tua yang telah hidup ratusan tahun dalam tradisi masyarakat Bali. Menurut mitologi Hindu Bali, perayaan Galungan berakar dari kisah pertarungan suci yang melibatkan seorang raja sakti, Mayadenawa, dan kekuatan ilahi yang datang membela kebenaran. Kisah inilah yang menjadi dasar spiritual Galungan hingga kini.
Sejarah Hari Raya Galungan dalam Mitologi Hindu Bali
Perayaan Galungan jatuh setiap Budha Kliwon Wuku Dungulan (Rabu Kliwon, wuku Dungulan) dalam kalender Bali atau setiap 210 hari. Makna utamanya berkaitan dengan datangnya Dharma sebagai energi kebenaran dan kemenangan spiritual yang menyinari kehidupan manusia.
Akar sejarah ini tidak terlepas dari legenda Mayadenawa—kisah yang bukan ditulis dalam naskah tunggal, melainkan hidup melalui tradisi tutur para tetua, cerita rakyat, dan mitologi Hindu Bali. Dari generasi ke generasi, cerita ini terus menguat sebagai fondasi mengapa Galungan diperingati sebagai momen kemenangan suci.
Menurut kisah, Mayadenawa adalah seorang raja sakti keturunan Daitya (raksasa) yang memerintah di daerah Blingkang, wilayah yang kini berada di sekitar pegunungan dekat Danau Batur. Ia adalah putra Dewi Danu Batur dan memiliki kesaktian luar biasa, bahkan mampu mengubah dirinya menjadi berbagai wujud. Namun sayangnya, kekuatan besar itu membuatnya menjadi angkuh dan sombong.
Dalam kepemimpinannya, Mayadenawa melarang rakyat memuja Tuhan, merusak pura, dan memutus semua bentuk upacara keagamaan. Rakyat Bali hidup dalam ketakutan. Tanaman hancur, penyakit menyebar, dan penderitaan muncul di mana-mana. Dalam kondisi genting itu, Mpu Kul Putih memohon petunjuk melalui yoga semadhi di Pura Besakih, memohon agar Dharma kembali turun ke bumi.
Dari semadhi itu, beliau mendapatkan pawisik bahwa pertolongan akan datang dari kekuatan suci di Jambudwipa. Pawisik tersebut menjadi kenyataan ketika Bhatara Indra, dewa perang dan cahaya, turun bersama pasukannya untuk menegakkan kebenaran di Bali. Pasukan ini terbagi menjadi tiga: sayap kanan dipimpin Citrasena dan Citrangada, sayap kiri oleh Sangjayantaka, dan pasukan utama dipimpin langsung Bhatara Indra sendiri.
Pertempuran besar pun terjadi. Pasukan Mayadenawa memberikan perlawanan sengit, namun Dharma tak mungkin dikalahkan. Pasukan Adharma dipukul mundur, membuat Mayadenawa melarikan diri bersama patihnya Kala Wong.
Pada malam hari, Mayadenawa menciptakan mata air beracun di dekat tenda pasukan suci. Ia berjalan miring agar jejaknya tak dikenali—jejak yang kemudian menjadi asal mula nama Tampaksiring. Esok paginya, banyak prajurit Bhatara Indra tumbang karena meminum air itu. Menyadari tipu daya tersebut, Bhatara Indra menciptakan mata air suci yang kini dikenal sebagai Tirta Empul, yang menyembuhkan seluruh pasukan.
Mayadenawa terus melarikan diri sambil mengubah wujudnya menjadi ayam (Manukaya), buah timbul (Timbul), busung (Blusung), susuh (Panyusuhan), hingga bidadari (Kadewatan). Semua wujud itu kini menjadi nama desa yang tetap eksis hingga sekarang. Namun pada akhirnya, ia berubah menjadi batu padas bersama patihnya. Bhatara Indra memanah batu itu hingga pecah, menewaskan Mayadenawa dan mengakhiri kegelapan yang menimpa Bali.
Dengan gugurnya Mayadenawa, Dharma kembali berjaya. Momentum inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Raya Galungan—hari ketika kebenaran menang dan cahaya spiritual kembali menerangi kehidupan manusia.
Perayaan Galungan hingga hari ini tetap menjadi simbol penting bagi umat Hindu. Bukan hanya ritual, tetapi pengingat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran selalu memiliki jalan untuk menang. Legenda Mayadenawa menjadi warisan spiritual yang terus menguatkan keyakinan bahwa Dharma tidak pernah padam, meski kegelapan sempat menyelimuti dunia.
Melalui Galungan, masyarakat Bali merayakan kemenangan itu dengan hati bersih, rasa syukur, dan semangat untuk menjalani hidup dengan nilai-nilai Dharma.
Penulis: Ngurah Ambara | Editor: Redaksi InfoDewataNews

0Komentar