INFODEWATANEWS.COM – Di balik lembah hijau dan rimbunnya hutan di wilayah Desa Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, tersimpan sebuah kisah lama yang terus hidup dalam ingatan masyarakat setempat. Legenda Dewi Nawang Wulan dan Jaka Tarub menjadi bagian penting dari warisan tutur Nusantara yang mengajarkan arti cinta, kejujuran, dan konsekuensi dari pelanggaran janji suci.
Konon, jauh sebelum desa Widodaren terbentuk seperti sekarang, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Jaka Tarub. Ia dikenal sebagai lelaki gagah dan rupawan yang dikagumi banyak gadis di desanya. Namun, di balik pesonanya, Jaka Tarub adalah sosok yang sombong dan sulit puas. Ia sering menolak lamaran gadis-gadis desa karena merasa tak seorang pun cukup cantik untuk mendampinginya.
Suatu hari, ketika Jaka Tarub sedang mengumpulkan kayu di hutan, ia mendengar suara tawa lembut dan gemericik air dari kejauhan. Suara itu terasa berbeda, seolah datang dari dunia lain. Rasa penasaran mendorongnya untuk menelusuri sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat tujuh bidadari turun dari langit, sedang mandi di bawah air terjun yang berkilau diterpa cahaya mentari. Wajah mereka begitu memesona, dengan aura suci yang memantulkan ketenangan.
Jaka Tarub terpukau, terutama pada bidadari termuda yang bernama Nawang Wulan. Tatapan matanya lembut dan wajahnya bersinar alami. Tanpa berpikir panjang, Jaka Tarub mengambil selendang sakti milik Nawang Wulan yang tergeletak di tepi batu. Tak lama kemudian, para bidadari selesai mandi dan satu per satu kembali terbang ke langit. Hanya Nawang Wulan yang tertinggal, kebingungan karena tidak menemukan selendangnya.
Dengan wajah penuh simpati, Jaka Tarub berpura-pura membantu mencari, namun tentu saja selendang itu tidak ia kembalikan. Ia kemudian menawarkan Nawang Wulan untuk tinggal bersamanya. Karena tak punya pilihan lain, Nawang Wulan menerima. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan — hubungan keduanya tumbuh menjadi cinta. Mereka pun menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan.
Kehidupan rumah tangga mereka tampak bahagia. Nawang Wulan dikenal rajin dan membawa keberkahan. Setiap kali memasak nasi, ia hanya menggunakan sebutir beras, tetapi hasilnya cukup untuk keluarga. Ia pun berpesan kepada Jaka Tarub agar tidak pernah membuka tutup dandang ketika ia sedang memasak, karena di sanalah rahasia kekuatan magisnya tersimpan.
Namun rasa penasaran manusia memang sulit dikendalikan. Suatu hari, saat Nawang Wulan mandi di sungai, Jaka Tarub melanggar pesan itu. Ia membuka tutup panci, dan betapa kagetnya ia melihat hanya sebutir beras di dalamnya. Sejak itu, kekuatan gaib Nawang Wulan hilang. Ia harus memasak seperti manusia biasa, menanak banyak beras setiap hari agar cukup untuk keluarga mereka.
Waktu berjalan, hingga suatu hari Nawang Wulan ingin mengambil beras di lumbung. Betapa terkejutnya ia ketika menemukan selendang saktinya tersimpan di sana — selendang yang selama ini membuatnya terkurung di dunia manusia. Seketika ingatannya tentang kahyangan kembali. Dengan air mata menetes, Nawang Wulan menemui Jaka Tarub.
“Suamiku, kini aku tahu siapa yang mengambil selendangku. Kau telah menipuku, namun aku juga telah belajar mencintaimu sebagai manusia,” katanya dengan suara lirih. “Namun aku harus kembali ke langit. Tugasku di dunia telah selesai.”
Setelah itu, Nawang Wulan terbang perlahan menuju kahyangan, meninggalkan Jaka Tarub yang hanya bisa menatap langit dengan penyesalan dan cinta yang tak terbalas.
Pesan Moral di Balik Legenda
Kisah Nawang Wulan dan Jaka Tarub bukan sekadar dongeng tentang cinta antara manusia dan bidadari, tetapi juga pengingat abadi tentang kejujuran, amanah, dan konsekuensi dari pelanggaran janji. Nawang Wulan melambangkan kesucian hati dan keikhlasan, sementara Jaka Tarub mencerminkan sisi manusia yang sering kalah oleh rasa ingin tahu dan keegoisan.
Hingga kini, legenda ini masih hidup dalam tradisi masyarakat Jawa. Di Desa Widodaren, nama dan kisah mereka kerap dikaitkan dengan asal-usul tempat dan nilai moral yang diwariskan turun-temurun. Cerita ini terus diceritakan bukan hanya untuk hiburan, tapi juga sebagai cermin bagi manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama — melanggar kepercayaan demi rasa penasaran yang sesaat.
🖋️ Penulis: Ngurah Ambara
🗞️ Editor: Redaksi InfoDewataNews

0Komentar