INFODEWATANEWS.COM, BADUNG - Bali bukan sekadar pulau yang indah oleh pesona alamnya, tetapi juga kaya akan taksu spiritual dan warisan budaya leluhur yang penuh makna. Di setiap sudut tanahnya, hidup tradisi-tradisi suci yang menjadi cerminan hubungan manusia dengan alam semesta dan Sang Pencipta. Salah satunya adalah Tradisi Mebuug-buugan, sebuah ritual penyucian diri yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, setiap tahun sehari setelah Hari Raya Nyepi, pada Ngembak Geni.
Tradisi ini bukan sekadar permainan atau perayaan, melainkan simbol mendalam dari kebersihan jiwa, kerendahan hati, dan penyatuan manusia dengan unsur alam. Dalam lumpur yang menyelimuti tubuh, tersimpan pesan religius bahwa manusia sejatinya lahir dari tanah, hidup di atas tanah, dan kelak akan kembali menyatu dengan tanah.
Makna dan Filosofi Suci
Secara etimologis, kata “Mebuug-buugan” berasal dari kata “buug” yang berarti tanah atau lumpur. Secara simbolik, lumpur diartikan sebagai kekotoran yang menempel pada diri manusia, baik secara fisik maupun spiritual. Melalui ritual ini, masyarakat Kedonganan mengekspresikan proses pembersihan diri dari hal-hal negatif seperti amarah, iri hati, dan keserakahan, agar dapat kembali suci setelah melewati masa penyepian pada Hari Nyepi.
Dalam ajaran Hindu Bali, unsur tanah atau prthivi adalah lambang kesuburan dan keseimbangan. Dengan melumuri tubuh dengan lumpur, manusia diingatkan untuk selalu rendah hati dan menyadari asal muasalnya. Tradisi ini juga mempertegas konsep Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan).
Prosesi Pelaksanaan
Pada pagi hari setelah Nyepi, warga Desa Adat Kedonganan berkumpul di Balai Agung. Laki-laki dan perempuan dari segala usia mengenakan busana adat sederhana dan melakukan persembahyangan bersama untuk memohon keselamatan serta kelancaran upacara. Setelah doa bersama, warga berjalan beriringan menuju area berlumpur di sekitar hutan mangrove Kedonganan, tempat sakral pelaksanaan Mebuug-buugan.
Di lokasi, suasana berubah penuh tawa dan semangat kebersamaan. Para peserta saling melempari lumpur, melumuri tubuh satu sama lain dalam suasana ceria. Namun di balik keriangan itu, tersimpan makna mendalam — lumpur menjadi simbol kekotoran batin yang harus dilepaskan, dan keceriaan menjadi wujud penyatuan hati dalam kedamaian. Tidak ada sekat kasta, tidak ada perbedaan derajat. Semua warga melebur menjadi satu, dalam simbol penyucian lahir dan batin.
Setelah prosesi lumpur selesai, peserta bersama-sama berjalan menuju Pantai Pemelisan di sisi barat desa. Di sanalah mereka membersihkan diri di laut. Air laut dipercaya memiliki kekuatan suci untuk menetralisir segala kekotoran yang telah dilebur dalam tanah. Perpaduan antara unsur tanah dan air melambangkan kesempurnaan proses penyucian — kembali suci dalam diri yang baru, bersih dari sifat buruk dan penuh rasa syukur.
Tradisi yang Dihidupkan Kembali
Tradisi Mebuug-buugan sempat terhenti pada tahun 1960-an karena perubahan sosial dan perkembangan pariwisata di kawasan Kuta. Namun, berkat semangat dan kesadaran generasi muda Desa Kedonganan, tradisi suci ini berhasil dihidupkan kembali pada tahun 2015. Sejak itu, Mebuug-buugan rutin digelar kembali setiap tahun dan menjadi bagian penting dari kehidupan adat setempat, sekaligus menarik perhatian wisatawan yang ingin menyaksikan kearifan lokal Bali yang otentik.
Kebangkitan tradisi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Bali tetap hidup di tengah arus modernisasi. Bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga ajaran hidup yang mengingatkan manusia untuk selalu menjaga keseimbangan dan menghormati alam sebagai bagian dari diri mereka sendiri.
Nilai Spiritual dan Sosial
Tradisi Mebuug-buugan mengandung pesan universal tentang kesucian, kesetaraan, dan kebersamaan. Dalam ritual ini, lumpur tidak lagi menjadi sesuatu yang kotor, melainkan sarana spiritual untuk membuang kekotoran batin. Ia menjadi simbol bahwa setiap manusia memiliki kesempatan untuk kembali bersih, asal mau merendahkan diri dan membuka hati.
Lebih dari itu, tradisi ini menumbuhkan semangat persaudaraan dan gotong royong. Tawa dan kebersamaan yang lahir di tengah lumpur menjadi cermin keharmonisan yang hakiki — bahwa kehidupan sejati adalah tentang menyatu, bukan saling membedakan.
Tradisi Mebuug-buugan bukan hanya ritual adat, melainkan doa yang diwujudkan dalam tindakan. Ia adalah bentuk bhakti dan kesadaran spiritual masyarakat Bali terhadap kehidupan. Melalui lumpur dan air, manusia diingatkan akan siklus kesucian dari tanah kembali ke tanah, dari kotor menuju bersih, dari gelap menuju cahaya.
Dengan terus melestarikan tradisi ini, masyarakat Kedonganan tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menjaga roh spiritual Bali agar tetap hidup, ajeg, dan seimbang.
“Tanah yang menempel di tubuh, bukan kotoran, melainkan berkah penyucian jiwa.”
📝 Editor: Redaksi InfoDewataNews

0Komentar