INFODEWATANEWS - Di antara keindahan alam Bali Utara yang tenang dan penuh pesona, tersimpan sebuah kisah cinta yang melegenda. Kisah ini bukan sekadar dongeng, melainkan bagian dari warisan budaya yang terus hidup di hati masyarakat Bali — kisah tentang Jayaprana dan Layonsari, dua insan yang cintanya begitu tulus hingga menembus batas kehidupan dan kematian.
Cerita ini berasal dari Desa Kalianget, Buleleng, dan hingga kini makam Jayaprana dan Layonsari masih dijaga serta dihormati oleh masyarakat setempat. Kisah mereka mengajarkan arti kesetiaan, pengorbanan, dan kemurnian cinta sejati yang tak lekang oleh waktu.
Awal Kisah di Tanah Buleleng
Pada zaman dahulu, di Kerajaan Kalianget, hiduplah seorang pemuda bernama Jayaprana. Ia dikenal tampan, berbudi pekerti luhur, serta sangat rajin. Sejak kecil, Jayaprana sudah mengalami cobaan berat: seluruh keluarganya meninggal dunia akibat wabah penyakit. Namun, nasib baik membawanya ke istana, di mana ia diangkat sebagai abdi setia oleh Raja Kalianget karena sifatnya yang jujur dan sopan.
Tahun demi tahun berlalu, Jayaprana tumbuh menjadi pemuda yang bijaksana dan disayangi rakyat. Tidak hanya rajin bekerja, ia juga rendah hati, membuat siapa pun yang mengenalnya menaruh hormat padanya.
Suatu ketika, dalam sebuah perayaan desa, Jayaprana bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Layonsari. Tatapan mata mereka bertemu, dan sejak saat itu, benih cinta tumbuh di antara keduanya. Cinta mereka sederhana, tulus, dan suci.
Kabar tentang hubungan mereka sampai ke telinga Raja Kalianget. Melihat kesetiaan dan kebahagiaan Jayaprana, sang raja memutuskan untuk merestui pernikahan mereka. Istana pun bersiap merayakan hari bahagia dua insan yang saling mencintai.
Bayangan Iri dan Keinginan Raja
Namun, takdir berkata lain. Saat hari pernikahan tiba, raja melihat kecantikan Layonsari secara langsung. Pesona sang gadis membuat hati raja terguncang. Dalam diam, tumbuh keinginan jahat untuk memiliki Layonsari bagi dirinya sendiri.
Sebagai abdi setia, Jayaprana menuruti perintah tanpa curiga. Ia berpamitan kepada Layonsari, yang sempat merasa gelisah. “Hati-hati, suamiku. Ada sesuatu yang tak enak dalam firasatku,” ucapnya. Jayaprana hanya tersenyum dan berkata, “Percayalah, Dewiku. Aku akan segera kembali.”
Akhir Tragis di Teluk Terima
Jayaprana berangkat bersama seorang prajurit kepercayaan raja bernama Patih Saunggaling. Namun, di tengah perjalanan, Saunggaling berhenti dan menatap Jayaprana dengan wajah muram.
“Maafkan aku, Jayaprana,” katanya dengan suara berat. “Aku diperintahkan untuk menghabisimu. Raja ingin memiliki Layonsari.”
Beberapa saat kemudian, Jayaprana ditikam hingga tewas. Tubuhnya terbaring di antara pepohonan, namun dari luka di dadanya keluar harum bunga yang menandakan kesucian hatinya. Saunggaling pun gemetar dan menyesal, menyadari bahwa ia baru saja membunuh orang berhati mulia.
Kesetiaan yang Menembus Kematian
Kabar kematian Jayaprana segera sampai ke Layonsari. Ia menjerit pilu dan menangis tanpa henti. Saat raja mencoba mendekatinya dan menawarkan cinta, Layonsari menatapnya dengan mata penuh air mata.
Mendengar kabar itu, rakyat Kalianget diliputi kesedihan mendalam. Mereka percaya, keharuman bunga dari Teluk Terima adalah wangi suci dari cinta Jayaprana dan Layonsari yang tak pernah pudar.
Di tempat Jayaprana dimakamkan, masyarakat Bali Utara membangun Pura Teluk Terima, yang hingga kini dijadikan tempat ziarah dan simbol kesetiaan cinta sejati.
Pesan Moral
Kisah Jayaprana dan Layonsari mengajarkan bahwa cinta sejati tidak bisa dibeli dengan kekuasaan atau harta, melainkan tumbuh dari ketulusan hati. Ia juga menjadi pengingat bahwa kesetiaan dan kejujuran adalah nilai luhur yang harus dijaga dalam kehidupan.
Bagi masyarakat Bali, kisah ini bukan hanya legenda, melainkan wujud penghormatan terhadap kemurnian cinta yang tetap harum meski jasad telah tiada.
🖋️ Penulis: Ngurah Ambara
📖 Editor: Redaksi Info Dewata News

0Komentar