TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark

Legenda I Renggan, Pelaut Sakti dari Nusa Penida yang Tantang Dewa di Gunung Agung

👤 Ngurah Ambara | InfoDewataNews    ðŸ•’ Rabu, November 05, 2025
Gambar Utama


Ilustrasi menggambarkan sosok I Renggan berdiri gagah di atas kapal kayu raksasa di tengah lautan biru yang bergelombang. Berbusana adat Bali kuno berwarna merah keemasan, ia menatap tegas ke cakrawala di bawah langit senja yang berkilau keemasan. Aura mistis menyelimuti dirinya, seolah kekuatan Dewa Baruna hadir melindungi perjalanan suci di samudra luas. Visual AI Ambara /InfoDewataNews

INFODEWATANEWS.COM, KLUNGKUNG — Dalam Babad Nusa Penida terdapat kisah sakral yang menggambarkan asal-usul beberapa wilayah penting di Nusa Penida. Salah satu tokoh sentral dalam kisah tersebut adalah I Renggan, sosok sakti mandraguna yang tinggal di kawasan Puncak Gunung Mundhi, dan dikenal sebagai ayah dari Ratu Gede Mecaling, penguasa gaib Pulau Nusa Penida. I Renggan disebut sebagai cucu dari Ki Dukuh Jumpungan, tokoh suci yang juga dikenal memiliki kesaktian luar biasa dan menjadi leluhur penting dalam tradisi spiritual Bali.

Menurut kisah dalam babad, I Renggan dikenal sebagai sosok yang gemar berlayar dan bertapa. Ia menguasai seluruh ilmu, baik putih maupun hitam. Kesaktiannya begitu besar hingga kabarnya tak ada makhluk, bahkan para dewa, yang berani menantangnya begitu saja. Ia bersemayam di Puncak Gunung Mundhi, gunung tertinggi di Nusa Penida yang pada masa itu diyakini lebih tinggi dari Gunung Tohlangkir—sebutan lama untuk Gunung Agung di Bali.

Melihat Gunung Mundhi menjulang lebih tinggi dari Gunung Tohlangkir, Dewa Putranjaya, yang berstana di puncak Gunung Agung, merasa tak berkenan. Dalam mitologi Bali, keseimbangan alam semesta harus dijaga, dan tidak sepatutnya ada gunung lain yang menandingi ketinggian gunung tempat bersemayamnya para Dewa. Dengan kekuatan gaibnya, Dewa Putranjaya menunjuk Gunung Mundhi, dan seketika puncaknya runtuh ke arah barat daya. Dari peristiwa itu lahirlah sebuah bukit yang disebut Bukit Tunjuk Pusuh, dinamai demikian karena gunung tersebut runtuh akibat “tunjukan” Sang Dewa.

Mengetahui bahwa puncak gunung tempatnya bertapa diruntuhkan oleh Dewa Putranjaya, I Renggan murka. Ia merasa direndahkan dan bertekad menantang Sang Dewa di Gunung Tohlangkir. Untuk memperkuat diri, I Renggan kembali bertapa dan memohon restu kepada Dewa Baruna, penguasa samudra. Dewa Baruna, yang mengetahui ketulusan sekaligus ambisi I Renggan, menganugerahkan kepadanya kesaktian luar biasa—yakni kekebalan yang membuatnya tidak bisa dibunuh bahkan oleh Dewa sekalipun.

Berbekal kekuatan baru itu, I Renggan berniat menyeberang ke Bali dan menantang Dewa Putranjaya. Ia menggunakan kapal sakti milik leluhurnya, Dukuh Jumpungan, kapal yang berukuran sangat besar hingga disebut setara dengan sebuah pulau kecil. Dengan membawa 1.500 pengikut setianya, I Renggan berlayar menuju Bali. Setiap benda yang ditabrak kapal tersebut di lautan akan hancur dan lenyap seketika, menandakan betapa dahsyatnya kekuatan sang pelaut sakti itu.

Namun, ketika Dewa Putranjaya mengetahui kehendak I Renggan, Beliau tidak tinggal diam. Dengan kekuatan gaibnya, Dewa Putranjaya menunjuk kapal milik I Renggan, dan seketika kapal itu kehilangan kendali. Kapal tersebut berbalik arah dan melaju dengan kecepatan luar biasa hingga menabrak pesisir Pulau Nusa Penida. Benturan dahsyat itu menyebabkan sebagian daratan terbelah, dan dari peristiwa itulah muncul daratan baru yang kini dikenal sebagai Pulau Nusa Ceningan.

Ujung depan perahu tersebut membentuk Anjungan Nusa Cenik, sementara bagian belakangnya menghadap ke bawah. Sedangkan layar perahu I Renggan terseret angin kencang ke arah barat, ngelembong dan rebah di tengah-tengah Pulau Nusa Cenik. Dari rebahan layar itulah kemudian terbentuk lautan kecil yang memisahkan pulau tersebut menjadi dua bagian — di sebelah selatan disebut Nusa Ceningan, dan di sebelah utara dikenal sebagai Nusa Lembongan.

Dikisahkan pula bahwa sekoci atau koleg milik I Renggan dihempaskan oleh gelombang besar dan terdampar di Teluk Gumblong. Tempat itu kemudian diyakini masyarakat setempat sebagai lokasi Air Mata Setan (Devil’s Tears) di Nusa Lembongan, yang hingga kini menjadi saksi bisu kedahsyatan peristiwa antara Dewa Putranjaya dan I Renggan.

Kendati mengalami kegagalan besar, I Renggan tidak menyerah. Ia kembali membuat kapal yang lebih besar dan lebih kuat dari sebelumnya. Dengan tekad yang tak tergoyahkan, ia kembali berlayar menuju Bali. Kali ini, Dewa Indra, sang penguasa hujan dan petir, menurunkan badai dahsyat di perairan Nusa Penida. Petir menyambar, angin berhembus kencang, dan gelombang laut mengamuk hebat. Namun, kapal I Renggan tetap melaju tanpa gentar, menandakan kekuatan besar yang dimilikinya.

Melihat situasi yang semakin gawat, Dewa Putranjaya meminta bantuan Dewa Baruna, sang penguasa lautan, untuk menghentikan I Renggan. Dewa Baruna kemudian menciptakan seekor gurita raksasa dari dasar samudra. Saat kapal I Renggan sedang melaju kencang, sang gurita muncul dan melilit kapal dengan kaki-kakinya yang raksasa, menariknya ke dasar laut dengan kekuatan maha dahsyat. Kapal sakti milik I Renggan akhirnya karam di perairan dangkal dan berubah menjadi Bukit Byaha, yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari bentang alam Nusa Penida.

Setelah dua kali gagal menyeberang ke Bali, I Renggan akhirnya menyerah. Ia menyadari bahwa kekuatan dan kesaktiannya tetap berada di bawah kehendak para Dewa. Sejak saat itu, I Renggan memilih menetap dan melakukan tapa brata di Pulau Nusa Cenik, tepatnya di wilayah Bakung.

Dalam masa pertapaannya, I Renggan hidup dalam kesunyian dan kesadaran spiritual, menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan gaib. Setelah mencapai usia 150 tahun, beliau melaksanakan tapa brata yoga semedhi dan akhirnya moksa pada tahun Saka 300. Di tempat suci itulah kini berdiri Pura Bakung, yang dipercaya sebagai istana Ida I Renggan bergelar Gede Pangerurah.

Sementara itu, istri I Renggan, yakni Ni Merahim, juga menjalani tapa brata yoga semedhi di daerah Bodong, Nusa Gede. Sejak usia 90 tahun, beliau mendalami jalan spiritual hingga akhirnya moksa pada tahun Saka 250. Sebagai penghormatan atas kesuciannya, didirikanlah Pura Dalem Bungkut sebagai stana Ida Ni Merahim.

Segala barang pusaka peninggalan I Renggan disimpan di Goa Betel, yang terletak di Pulau Nusa Cenik. Tempat itu dijaga dengan penuh kesucian sesuai Bisama Dukuh Jumpungan, agar Pulau Nusa Cenik (Nusa Ceningan) tetap terpelihara dari segala bentuk pencemaran lahir maupun batin.

Untuk menjaga kesucian tersebut, Pulau Nusa Cenik dilindungi oleh Prati Sentana Ida Dukuh Jumpungan, dengan penjaga-penjaga gaib yang menjaga dari empat penjuru: Sebelah Barat dijaga oleh Ni Puri, Sebelah Timur dijaga oleh Ni Luna, Sebelah Utara dijaga oleh I Renggan sendiri, Sebelah Selatan dijaga oleh I Undur, yang juga menjadi penjaga Tirta Asta Gangga di Bongkol Bebuwu, yang memiliki wasiat suci Tri Sakti.

Di seberang lautan sebelah Selatan, penjagaan dilakukan oleh Ni Luh Nanda, sedangkan di seberang lautan Utara dijaga oleh Ni Darmain dan Ni Diah Ranggaeni, agar kesucian dan kekeramatan Pulau Nusa Cenik tetap terjaga selamanya.

Selain di Pulau Nusa Cenik, sebagian pusaka I Renggan juga disimpan di Gili Gede dan Gili Maya, Nusa Lembongan, yang dijaga oleh Pepatih Gede Mecaling serta Sang Ayu Mas Rajeg Bumi — sebagai simbol keterhubungan antara kekuatan niskala yang menjaga keseimbangan alam Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan.

Kisah ini bukan sekadar legenda tentang kesaktian dan amarah, melainkan sebuah warisan spiritual yang menuntun manusia pada makna kerendahan hati dan keharmonisan kosmik. Dari peristiwa suci tersebut, masyarakat Nusa Penida mengenang Ida I Renggan sebagai tokoh sakti yang tidak hanya membentuk alam pulau mereka, tetapi juga meneguhkan keyakinan bahwa setiap kekuatan memiliki batas pada kehendak semesta.

Beliau menjadi simbol keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan, antara kesaktian dan ketundukan, yang mengingatkan umat manusia bahwa kekuatan sejati bukanlah kemampuan untuk menaklukkan, melainkan kesanggupan untuk menyatu dengan kehendak alam dan restu para Dewa.


Penulis: Ngurah Ambara
Editor: Redaksi InfoDewataNews

Ngurah Ambara adalah penulis dan jurnalis lepas yang aktif mengangkat tema budaya, sejarah, dan kearifan lokal Bali. Melalui karya-karyanya, ia menggali legenda, tradisi, serta filosofi hidup masyarakat Bali dengan gaya bahasa yang ringan namun tetap berakar pada sumber sastra dan tutur lisan daerah. Lewat tulisan yang informatif dan inspiratif, ia berupaya menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap akar budaya Bali di tengah arus modernisasi.


🪶 Legenda Nusantara | Menyusuri kisah suci, mitologi, dan legenda penuh makna dari berbagai daerah di Nusantara. Ruang refleksi nilai budaya dan spiritual yang diwariskan turun-temurun.

0Komentar

Copyright© - INFODEWATANEWS.COM . Develop by Komunitas Ngranjing.
Tentang Kami | Perjalanan Kami | Makna Logo | Privasi | Syarat dan Ketentuan | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Redaksi | Kontak Kami