INFODEWATANEWS.COM – Nusa Penida, sebuah pulau di tenggara Bali yang kini dikenal dunia karena keindahan pantai dan tebingnya yang menakjubkan, ternyata menyimpan warisan spiritual yang sangat dalam. Di balik pesonanya yang eksotis, terdapat kisah suci yang diwariskan secara turun-temurun melalui lontar dan tutur leluhur: legenda Ki Dukuh Jumpungan, sosok suci yang dipercaya sebagai manifestasi Dewa Siwa saat turun ke bumi bersama Dewi Uma.
Legenda ini bukan sekadar cerita rakyat, melainkan bagian penting dari sejarah spiritual Bali. Ia menggambarkan asal mula terbentuknya kehidupan di Nusa Penida sekaligus menjelaskan bagaimana pulau ini mendapat nama serta makna sakralnya. Hingga kini, kisah ini terus hidup dalam kesadaran masyarakat setempat dan menjadi dasar berbagai ritual keagamaan Hindu Dharma di pulau tersebut.
Turunnya Dewa Siwa ke Gunung Mundhi
Menurut kisah yang tersimpan dalam lontar-lontar suci, pada zaman kuno Dewa Siwa dan Dewi Uma memutuskan untuk turun dari kahyangan. Mereka memilih sebuah tempat sunyi dan suci yang terletak di tengah samudra luas, yaitu puncak di Nusa Penida yang kala itu disebut Gunung Mundhi, kini dikenal sebagai Puncak Mundi.
Ketika turun ke dunia, Dewa Siwa berwujud sebagai seorang laki-laki suci bergelar Ki Dukuh Jumpungan, sementara Dewi Uma menjelma menjadi Ni Puri, pendamping setianya. Turunnya Dewa Siwa dalam wujud manusia ini dianggap sebagai awal mula keberadaan manusia di Nusa Penida.
Pada masa itu, pulau ini dikenal dengan sebutan Manusa Pandita, yang berarti “manusia suci” atau “umat pendeta.” Kata pandita atau dukuh merujuk pada seorang guru spiritual yang memiliki pengetahuan tinggi dan kekuatan rohani. Seiring waktu, pelafalan Manusa Pandita berubah menjadi Nusa Pandita, dan akhirnya menjadi Nusa Penida seperti dikenal saat ini. Perubahan nama ini menandai perjalanan panjang sejarah pulau dari ranah mitologis menuju kehidupan nyata masyarakatnya.
Membangun Peradaban Sakral di Pulau Sunyi
Setelah turun ke dunia, Ki Dukuh Jumpungan bersama para pengikutnya mulai membangun permukiman pertama di pulau tersebut. Tempat itu kini dikenal sebagai Desa Rata, yang dipercaya sebagai pusat awal kehidupan manusia di Nusa Penida.
Di sana, beliau mendirikan Padukuhan, sebuah tempat suci yang berfungsi sebagai pusat kehidupan spiritual dan sosial bagi masyarakat yang mulai tumbuh. Ki Dukuh Jumpungan menanamkan nilai-nilai kesucian, keseimbangan, dan pengabdian kepada alam serta Sang Hyang Widhi.
Pada puncak Gunung Mundhi, beliau membangun pesraman suci, tempat untuk bertapa dan memuliakan Sang Pencipta. Kawasan ini dikelilingi taman spiritual dan memiliki delapan sumber air suci yang disebut Asta Gangga. Sumber air ini dipercaya berasal dari Siwa Lokha, para pengikut Dewa Siwa yang turut turun menjaga keseimbangan alam dan kesucian Nusa Penida. Hingga kini, Asta Gangga masih dihormati sebagai sumber kesucian dan kehidupan oleh masyarakat setempat.
Perahu Sakti dan Kehidupan Pertama di Pulau
Dalam kisah suci itu disebutkan pula bahwa Ki Dukuh Jumpungan, melalui kekuatan tapa dan kesaktiannya, mampu menciptakan sebuah perahu gaib. Perahu ini bukan hanya alat perjalanan fisik, melainkan simbol penguasaan atas unsur laut dan spiritualitas. Dengan perahu sakti tersebut, beliau menjelajahi lautan luas di sekitar Nusa Penida, menikmati keindahan ciptaan Sang Hyang Widhi dan menjaga keseimbangan antara daratan dan samudra.
Dalam kehidupan duniawi, Ki Dukuh Jumpungan hidup damai bersama Ni Puri. Dari hubungan suci tersebut lahirlah seorang putra bernama I Merja. Keturunan I Merja inilah yang kemudian dipercaya menjadi leluhur para pendeta dan penjaga spiritual di Nusa Penida. Dari garis inilah pula muncul para pendiri pura-pura suci yang kini tersebar di seluruh pulau, seperti Pura Dalem Ped, Pura Puncak Mundi, dan Pura Batu Melawang, yang semuanya memiliki keterkaitan erat dengan kisah Ki Dukuh Jumpungan.
Moksha di Puncak Mundhi
Setelah menunaikan tugas sucinya di dunia, Ki Dukuh Jumpungan akhirnya mencapai moksha, yakni pelepasan sempurna dari siklus kehidupan duniawi. Tempat moksha-nya diyakini berada di Puncak Gunung Mundhi, tempat yang kini menjadi lokasi Pura Puncak Mundi — salah satu pura tertinggi dan paling disucikan di Nusa Penida.
Sementara itu, Ni Puri juga mencapai moksha di tempat lain yang kini dikenal sebagai Pura Batu Melawang, pura yang dipersembahkan untuk menghormati beliau sebagai manifestasi Dewi Uma, pendamping Dewa Siwa. Kedua pura ini kini menjadi tujuan utama umat Hindu ketika melakukan perjalanan spiritual atau tirta yatra ke Nusa Penida.
Warisan Spiritual Nusa Penida
Legenda Ki Dukuh Jumpungan tidak hanya mengisahkan asal mula pulau ini, tetapi juga mengandung nilai filosofis yang dalam. Ia menggambarkan bagaimana manusia, alam, dan para dewa saling terhubung dalam keseimbangan semesta.
Masyarakat Nusa Penida hingga kini masih menjaga kesucian tanahnya melalui berbagai upacara dan tradisi yang diwariskan dari leluhur. Pura-pura yang berdiri megah di setiap sudut pulau bukan hanya tempat sembahyang, melainkan juga simbol warisan spiritual yang tak ternilai.
Bagi masyarakat Bali, kisah ini menjadi pengingat bahwa Nusa Penida bukan sekadar destinasi wisata, melainkan tanah suci tempat turunnya Dewa Siwa dan awal mula peradaban spiritual yang penuh makna. Warisan Ki Dukuh Jumpungan terus hidup dalam hati umat Hindu sebagai lambang kesetiaan, kebijaksanaan, dan kesucian abadi yang menuntun kehidupan rohani hingga kini.
Editor: Redaksi InfoDewataNews

0Komentar