INFODEWATANEWS.COM - Di antara gemuruh ombak pantai selatan Lombok, tersimpan kisah indah dan menyentuh hati tentang seorang putri cantik bernama Mandalika. Kisahnya tidak hanya menjadi legenda bagi masyarakat Sasak, tetapi juga warisan budaya yang hidup dalam tradisi Bau Nyale, perayaan tahunan yang mengingatkan kita akan cinta dan pengorbanan sejati.
Putri dari Kerajaan Tonjang Beru
Dahulu kala, di Pulau Lombok berdiri sebuah kerajaan bernama Tonjang Beru, yang diperintah oleh raja bijak dan penuh kasih. Sang raja memiliki seorang putri tunggal bernama Putri Mandalika. Kecantikannya termasyhur ke seluruh penjuru pulau. Tidak hanya wajahnya yang elok, tetapi juga hatinya yang lembut dan tutur katanya yang meneduhkan setiap orang yang mendengarnya.
Kecantikannya membuat banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang melamar. Mereka datang membawa hadiah, emas, dan batu permata. Namun, Mandalika selalu menjawab dengan tenang,
“Aku belum siap memilih. Biarlah waktu dan takdir yang menuntun jalanku.”
Kesabarannya membuat rakyat semakin menghormatinya. Namun, di balik ketenangan itu, Mandalika diliputi kegelisahan besar — karena setiap kerajaan yang melamarnya bersumpah akan berperang bila ia menolak lamaran mereka.
Tekanan dan Pergulatan Batin
Hari demi hari, tekanan semakin berat. Raja dan permaisuri pun mulai resah. Mereka tahu, keputusan sang putri akan menentukan masa depan kerajaan. Bila Mandalika memilih satu pangeran saja, maka yang lain akan marah dan perang akan pecah di seluruh Lombok.
Di tengah dilema itu, Mandalika mengurung diri di kamarnya. Ia berdoa kepada Sang Hyang Widi agar diberikan petunjuk. Dalam keheningan malam, ia mendengar suara hati yang lembut, membisikkan:
“Cinta yang sejati bukan untuk satu orang saja, melainkan untuk seluruh rakyat yang membutuhkan kedamaian.”
Sejak saat itu, Mandalika mantap mengambil keputusan besar — keputusan yang akan mengubah sejarah pulau Lombok selamanya.
Pengorbanan di Bukit Seger
Pagi hari, menjelang fajar, Mandalika memanggil semua pangeran dan rakyat berkumpul di Bukit Seger, sebuah tebing tinggi yang menghadap ke laut selatan. Ombak bergulung lembut, seolah tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.
Dengan busana kebesaran kerajaan dan rambut panjang terurai, Putri Mandalika berdiri di hadapan ribuan orang. Suaranya lembut namun tegas:
“Wahai para pangeran, rakyatku yang kucintai. Aku tak dapat memilih satu di antara kalian. Jika aku memilih satu, maka perang akan menghancurkan tanah kita. Karena itu, aku memilih jalan damai. Aku akan menjadi milik semua bukan sebagai istri, tetapi sebagai berkah.”
Sebelum siapa pun sempat menahan, Mandalika melompat dari tebing dan terjun ke laut yang bergelora. Semua orang menjerit dan berlari ke tepi pantai, tapi tubuh sang putri tak pernah ditemukan.
Beberapa saat kemudian, ombak membawa ribuan cacing laut berwarna-warni yang berkilau di antara buih ombak. Rakyat percaya, roh Putri Mandalika telah menjelma menjadi makhluk kecil itu — Nyale, simbol kesucian, cinta, dan pengorbanan.
Bau Nyale – Warisan Cinta dari Samudra
Sejak saat itu, setiap tahun pada bulan ke-10 kalender Sasak (sekitar Februari–Maret), masyarakat Lombok berkumpul di Pantai Seger, Kuta, untuk melakukan tradisi Bau Nyale — mencari cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Bagi mereka, Nyale bukan sekadar simbol keberuntungan, tetapi juga pengingat akan pesan luhur sang putri: bahwa cinta sejati tidak egois, dan pengorbanan demi kedamaian adalah bentuk cinta paling murni.
Bau Nyale menjadi perpaduan antara ritual, festival budaya, dan pesta rakyat — di mana semua berkumpul dalam semangat kebersamaan dan rasa syukur.
Pesan Moral
Legenda Putri Mandalika mengajarkan tentang ketulusan dan pengorbanan tanpa pamrih. Dalam dunia yang sering dikuasai oleh nafsu dan ambisi, kisah ini mengingatkan kita bahwa kedamaian lebih berharga daripada kemenangan.
Putri Mandalika menjadi simbol perempuan Bali–Nusantara yang bijaksana: cantik dalam rupa, suci dalam hati, dan abadi dalam kenangan rakyatnya.
Penulis: Ngurah Ambara | Editor: Redaksi InfoDewataNews

0Komentar