INFODEWATANEWS.COM – Di balik keindahan alam Jawa Barat, berdiri megah Gunung Tangkuban Perahu dengan bentuk puncak yang menyerupai perahu terbalik. Gunung ini tidak hanya menjadi destinasi wisata alam, tetapi juga menyimpan kisah legendaris yang telah diceritakan turun-temurun: Legenda Sangkuriang. Cerita ini bukan sekadar dongeng rakyat, melainkan kisah yang sarat makna tentang cinta, penyesalan, dan kekuatan takdir.
Asal Usul dan Latar Cerita
Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang perempuan cantik bernama Dayang Sumbi. Ia dikenal karena kecantikannya dan kebijaksanaannya. Namun, karena suatu kejadian kecil saat menenun, benang pintalannya terjatuh. Dayang Sumbi yang merasa malas turun mengambilnya berkata, siapa pun yang mengambilkan benang itu akan dijadikannya suami.
Ternyata, yang mengambil benang tersebut adalah seekor anjing jantan bernama Tumang, yang sesungguhnya adalah titisan dewa. Karena telah mengucapkan janji, Dayang Sumbi pun menikah dengan Tumang. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki tampan bernama Sangkuriang.
Sejak kecil, Sangkuriang tumbuh sebagai anak yang cerdas, gagah, dan pemberani. Ia sangat menyayangi ibunya, namun tidak mengetahui bahwa ayahnya adalah Tumang, sang anjing setia. Suatu hari, ketika berburu di hutan, Sangkuriang tanpa sengaja membunuh Tumang karena mengira hewan itu tidak berguna. Saat pulang, Dayang Sumbi sangat marah dan mengusir Sangkuriang dari rumah. Sejak saat itu, Sangkuriang pergi mengembara tanpa arah.
Pertemuan Tak Terduga
Bertahun-tahun berlalu. Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda gagah dan sakti mandraguna. Dalam perjalanannya, ia bertemu seorang perempuan cantik di tengah hutan. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya wanita itu, Sangkuriang jatuh cinta. Perempuan itu tak lain adalah ibunya sendiri, Dayang Sumbi, yang tetap awet muda karena berkah para dewa atas kesetiaannya dalam tapa brata.
Ketika Sangkuriang menyatakan niatnya untuk menikah, Dayang Sumbi sempat ragu. Namun setelah memperhatikan tanda di tubuh Sangkuriang—bekas luka di kepala akibat pukulannya dulu—ia menyadari bahwa pemuda itu adalah anak kandungnya sendiri. Dayang Sumbi pun berusaha menolak dengan halus, tetapi Sangkuriang yang telah terlanjur jatuh cinta tidak mau mendengar alasan apa pun.
Syarat yang Mustahil
Untuk menggagalkan niat Sangkuriang, Dayang Sumbi akhirnya memberikan syarat yang mustahil: ia meminta Sangkuriang membuat sebuah danau besar dan perahu raksasa dalam waktu satu malam sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang yang memiliki kesaktian luar biasa menerima tantangan itu tanpa ragu.
Dengan bantuan makhluk halus dan kekuatan gaibnya, ia mulai menebang hutan dan menimbun lembah. Dalam waktu singkat, air mulai memenuhi lembah dan membentuk danau. Sebuah batang pohon besar dijadikannya bahan untuk membuat perahu. Melihat hampir berhasil, Dayang Sumbi panik. Ia lalu berdoa kepada para dewa agar membuat fajar datang lebih cepat.
Doanya terkabul. Ayam jantan berkokok, sinar merah muncul di ufuk timur, dan para makhluk halus yang membantu Sangkuriang pun menghilang. Sangkuriang yang sadar bahwa usahanya gagal, murka dan menendang perahu yang belum selesai dibuat itu hingga terbalik. Perahu itulah yang kemudian diyakini menjadi Gunung Tangkuban Perahu, yang berarti “perahu terbalik”.
Makna dan Pesan Moral
Legenda Sangkuriang bukan hanya kisah cinta terlarang, tetapi juga refleksi mendalam tentang batas antara cinta dan takdir. Sangkuriang melambangkan manusia yang dikuasai nafsu dan ambisi, sementara Dayang Sumbi mencerminkan kebijaksanaan serta kehati-hatian dalam menjalani hidup.
Gunung Tangkuban Perahu menjadi simbol bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, memiliki konsekuensi. Kisah ini juga mengajarkan tentang pentingnya pengendalian diri dan kesadaran akan asal-usul, bahwa cinta sejati tidak boleh menentang hukum alam maupun moral.
Hingga kini, legenda ini terus hidup di tengah masyarakat Sunda dan menjadi bagian dari identitas budaya Jawa Barat. Di balik bentuk gunung yang unik itu, tersimpan pesan abadi tentang kasih, kesalahan, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Penulis: Ngurah Ambara
Editor: Redaksi
Tulisan dari Sejarah dan Sosial tidak mewakili pandangan dari redaksi.

0Komentar