Tangan-tangan mereka begitu cekatan menata janur, bunga, dan dupa, sementara aroma harum dupa memenuhi udara pagi. Dalam kebersamaan dan gotong royong, tampak jelas nilai-nilai spiritual dan kebudayaan yang masih kuat hidup di tengah masyarakat Bali.
Makna Spiritual di Balik Banten
Ngaturang banten bukan hanya rutinitas keagamaan, tetapi juga perwujudan rasa syukur dan bhakti umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Jro Mangku Ketut Sudiara, selaku pemangku dan tuan rumah upacara piodalan, menuturkan bahwa banten adalah sarana penyucian diri dan ungkapan cinta kasih kepada Tuhan.
“Banten itu bukan soal besar kecilnya, tapi tentang ketulusan hati saat kita menghaturkannya. Dari ketulusan itu, doa menjadi suci dan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Minggu (5/10/2025).
Menurutnya, piodalan di Pura Taksu dan Bale Kembar bukan sekadar tradisi keluarga, melainkan juga bentuk ngayah spiritual kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Gotong Royong Ibu-Ibu Saat Persiapan Piodalan
Menjelang piodalan, halaman rumah keluarga Wayan Citra di Desa Dukuh tampak ramai dipenuhi aktivitas para perempuan yang tengah menyiapkan berbagai jenis banten.
Wayan Citra, yang juga selaku tuan rumah dan pihak yang memiliki acara piodalan, mengungkapkan rasa syukurnya atas terselenggaranya kegiatan ini.
“Kami sekeluarga merasa bahagia bisa ngayah dan memohon kerahayuan di Pura Taksu dan Bale Kembar. Semua persiapan dilakukan bersama-sama, ada yang bawa janur, ada yang bawa bunga. Inilah indahnya gotong royong di desa kami,” ujarnya sambil menata banten pejati di atas tampah bambu.
Sementara itu, Luh Rini, yang sejak pagi turut membantu merangkai canang sari, menuturkan bahwa kegiatan seperti ini menjadi ruang silaturahmi antarwarga.
“Di sini kami bisa berkumpul, saling bantu, dan berbagi cerita. Sekaligus mengajarkan anak-anak kami makna ketulusan dan kebersamaan,” ujarnya.
Sedangkan Nengah Ningsih menambahkan bahwa persiapan menjelang piodalan adalah momen yang paling ditunggu.
“Kami bekerja sambil berdoa. Tidak terasa lelah karena ini bagian dari pengabdian kami kepada Ida Sang Hyang Widhi dan leluhur,” tuturnya dengan senyum lembut.
Filosofi Kesederhanaan dan Rasa Syukur
Melestarikan Tradisi di Tengah Arus Modernisasi
Jro Mangku Ketut Sudiara menegaskan bahwa pelestarian tradisi bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga generasi penerus.
“Kalau anak-anak ikut dari sekarang, mereka akan mengerti bahwa banten bukan sekadar sesajen, melainkan simbol hubungan manusia dengan alam semesta,” ujarnya.
Ngaturang Banten, Wujud Keharmonisan Hidup
“Banten kecil, tapi maknanya besar,” tutur Luh Rini sambil tersenyum.
Di tengah kesederhanaan itu, terpancar keindahan sejati: harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta yang menjadi jiwa kehidupan di Bali.
Reporter : Ngurah Ambara
Editor: Redaksi

0Komentar