TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark

Ngaturang Banten, Filosofi Kesederhanaan dalam Menghaturkan Persembahan

👤 Ngurah Ambara | InfoDewataNews    ðŸ•’ Selasa, Oktober 28, 2025
Gambar Utama

Ibu-ibu di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Karangasem, bergotong royong menyiapkan banten odalan menjelang piodalan di Pura Taksu dan Bale Kembar milik keluarga Jro Mangku Ketut Sudiara, Minggu (5/10/2025) Foto : Ambara / InfoDewataNews 


INFODEWATANEWS.COM, KARANGASEM - 
Suasana Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Karangasem, tampak semarak pada Minggu, 5 Oktober 2025. Di halaman rumah keluarga Jro Mangku Ketut Sudiara, tampak sejumlah ibu-ibu tengah sibuk menyiapkan banten untuk upacara piodalan di Pura Taksu dan Bale Kembar, yang akan mencapai puncaknya pada Senin, 6 Oktober 2025.

Tangan-tangan mereka begitu cekatan menata janur, bunga, dan dupa, sementara aroma harum dupa memenuhi udara pagi. Dalam kebersamaan dan gotong royong, tampak jelas nilai-nilai spiritual dan kebudayaan yang masih kuat hidup di tengah masyarakat Bali.

Makna Spiritual di Balik Banten

Ngaturang banten bukan hanya rutinitas keagamaan, tetapi juga perwujudan rasa syukur dan bhakti umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Setiap bahan yang digunakan — janur, bunga, beras, hingga dupa — memiliki makna simbolik yang dalam. Melalui banten, manusia berkomunikasi dengan alam niskala, memohon kerahayuan dan keseimbangan hidup.

Jro Mangku Ketut Sudiara, selaku pemangku dan tuan rumah upacara piodalan, menuturkan bahwa banten adalah sarana penyucian diri dan ungkapan cinta kasih kepada Tuhan.

“Banten itu bukan soal besar kecilnya, tapi tentang ketulusan hati saat kita menghaturkannya. Dari ketulusan itu, doa menjadi suci dan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Minggu (5/10/2025).

Menurutnya, piodalan di Pura Taksu dan Bale Kembar bukan sekadar tradisi keluarga, melainkan juga bentuk ngayah spiritual kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

“Melalui banten, kita belajar menyucikan pikiran dan hati. Karena banten adalah simbol keseimbangan antara sekala dan niskala,” tambahnya.

Gotong Royong Ibu-Ibu Saat Persiapan Piodalan

Menjelang piodalan, halaman rumah keluarga Wayan Citra di Desa Dukuh tampak ramai dipenuhi aktivitas para perempuan yang tengah menyiapkan berbagai jenis banten.

Mereka duduk melingkar, menata janur, bunga, dan buah, sambil bercengkrama dalam suasana penuh semangat kebersamaan. Di tengah kesibukan itu, rasa tulus dan ikhlas begitu terasa.

Wayan Citra, yang juga selaku tuan rumah dan pihak yang memiliki acara piodalan, mengungkapkan rasa syukurnya atas terselenggaranya kegiatan ini.

“Kami sekeluarga merasa bahagia bisa ngayah dan memohon kerahayuan di Pura Taksu dan Bale Kembar. Semua persiapan dilakukan bersama-sama, ada yang bawa janur, ada yang bawa bunga. Inilah indahnya gotong royong di desa kami,” ujarnya sambil menata banten pejati di atas tampah bambu.

Upacara piodalan kali ini dipuput oleh Jro Mangku Ketut Sudiara, pemangku setempat yang juga turut membimbing jalannya persiapan upakara. Beliau memastikan seluruh banten yang dihaturkan sudah sesuai dengan tattwa dan makna spiritualnya.

Sementara itu, Luh Rini, yang sejak pagi turut membantu merangkai canang sari, menuturkan bahwa kegiatan seperti ini menjadi ruang silaturahmi antarwarga.

“Di sini kami bisa berkumpul, saling bantu, dan berbagi cerita. Sekaligus mengajarkan anak-anak kami makna ketulusan dan kebersamaan,” ujarnya.

Sedangkan Nengah Ningsih menambahkan bahwa persiapan menjelang piodalan adalah momen yang paling ditunggu.

“Kami bekerja sambil berdoa. Tidak terasa lelah karena ini bagian dari pengabdian kami kepada Ida Sang Hyang Widhi dan leluhur,” tuturnya dengan senyum lembut.

Filosofi Kesederhanaan dan Rasa Syukur

Bagi masyarakat Bali, banten tidak diukur dari kemegahan bentuknya, melainkan dari makna yang dikandungnya. Satu canang sari yang dihaturkan dengan hati suci memiliki nilai spiritual yang sama dengan upacara besar.

Tradisi ini mengajarkan kesederhanaan, rasa syukur, dan kedamaian dalam menjalani kehidupan.

Melalui pembuatan banten, para ibu juga melatih kesabaran dan ketekunan. Setiap rangkaian janur dan bunga yang mereka susun adalah simbol harmoni dalam kehidupan — antara manusia, alam, dan Tuhan.

Melestarikan Tradisi di Tengah Arus Modernisasi

Meski dunia terus berubah, masyarakat Desa Dukuh tetap berpegang teguh pada nilai-nilai adat dan spiritualitas leluhur.

Generasi muda pun dilibatkan dalam kegiatan persiapan odalan agar tidak terputus dari akar tradisi. Beberapa remaja terlihat membantu mengantarkan banten dan membersihkan area pura sebagai bagian dari ngayah.

Jro Mangku Ketut Sudiara menegaskan bahwa pelestarian tradisi bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga generasi penerus.

“Kalau anak-anak ikut dari sekarang, mereka akan mengerti bahwa banten bukan sekadar sesajen, melainkan simbol hubungan manusia dengan alam semesta,” ujarnya.

Ngaturang Banten, Wujud Keharmonisan Hidup

Menjelang sore, banten-banten mulai tersusun rapi. Suara gamelan sayup terdengar dari kejauhan, menandakan suasana piodalan yang semakin dekat. 

Bagi masyarakat Bali, ngaturang banten bukan sekadar ritual, tapi cara hidup mengajarkan keseimbangan, kesabaran, dan rasa terima kasih setiap hari.

“Banten kecil, tapi maknanya besar,” tutur Luh Rini sambil tersenyum.

Di tengah kesederhanaan itu, terpancar keindahan sejati: harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta yang menjadi jiwa kehidupan di Bali.

Reporter : Ngurah Ambara
Editor: Redaksi 

0Komentar

Copyright© - INFODEWATANEWS.COM . Develop by Komunitas Ngranjing.
Tentang Kami | Perjalanan Kami | Makna Logo | Privasi | Syarat dan Ketentuan | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Redaksi | Kontak Kami