INFODEWATANEWS.COM - Di tengah bentang hijau persawahan Bali yang terhampar seperti permadani surgawi, mengalir air yang bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga doa yang berdenyut di bumi para dewa. Air itu menuruni lereng gunung, melewati pura, dan akhirnya menyapa kaki para petani yang bekerja dengan penuh ketulusan. Dari aliran suci inilah lahir Subak — sistem irigasi tradisional yang menjadi simbol keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Subak bukan hanya sistem pertanian. Ia adalah cermin peradaban Bali yang hidup dalam kesadaran kolektif masyarakatnya. Di balik setiap tetes air yang mengalir, tersimpan nilai-nilai luhur: gotong royong, keadilan, dan harmoni. Tak heran, pada tahun 2012, UNESCO menetapkan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia — bukan semata karena teknik pengairannya, melainkan karena filosofi hidup yang menghidupinya.
Filosofi: Tri Hita Karana, Harmoni yang Mengikat Alam dan Manusia
Filosofi yang melandasi sistem Subak adalah Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan dan kesejahteraan.
Filosofi ini menegaskan pentingnya keseimbangan dalam tiga hubungan utama kehidupan:
1. Parahyangan – hubungan manusia dengan Tuhan, diwujudkan dalam doa dan upacara yang menyertai setiap tahap pertanian, dari menanam hingga panen.
2. Pawongan – hubungan manusia dengan sesama, tercermin dalam semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mengelola air dan lahan.
3. Palemahan – hubungan manusia dengan alam, diwujudkan dengan menjaga kelestarian lingkungan, tanah, dan air agar tetap seimbang.
Melalui Tri Hita Karana, Subak menjadi lebih dari sekadar teknologi — ia adalah jalan hidup yang menuntun manusia untuk tidak serakah pada alam dan tidak lalai terhadap sesama.
Pengelolaan Air: Adil, Kolektif, dan Suci
Subak mengatur aliran air dari sumbernya di hulu — biasanya mata air pegunungan — hingga ke sawah-sawah di hilir dengan sistem yang adil dan transparan. Pengaturan ini tidak dilakukan oleh individu, melainkan secara kolektif oleh komunitas petani.
Tiap Subak memiliki seorang pemimpin adat yang disebut Pekaseh, yang memimpin musyawarah dan memastikan pembagian air berjalan sesuai awig-awig — aturan adat yang mengikat seluruh anggota. Dalam awig-awig, air dianggap milik bersama, bukan milik pribadi. Tidak ada sawah yang boleh kering karena keserakahan satu orang, sebab air adalah anugerah Tuhan yang harus dinikmati secara adil.
Dalam sistem ini juga berlaku konsep spiritual: air dianggap tirtha, atau air suci. Sebelum air digunakan, dilakukan upacara di Pura Ulun Suwi atau Pura Subak, memohon restu kepada Dewi Sri — sang dewi kesuburan. Dengan begitu, setiap tetes air yang mengalir ke sawah membawa doa dan restu bagi tumbuhnya kehidupan.
Struktur dan Aturan Subak: Disiplin dalam Kebersamaan
Organisasi Subak memiliki struktur sosial yang teratur. Selain Pekaseh, terdapat pengurus lain seperti Petengen (sekretaris), Kasinoman (pengatur kerja), dan Penyarikan (pencatat hasil). Semua memiliki peran penting agar sistem berjalan tertib dan harmonis.
Kehidupan dalam Subak diatur oleh aturan adat seperti Awig-Awig, Sima, dan Perarem.
- Awig-Awig berisi hukum dasar Subak yang disepakati bersama.
- Sima mengatur tata batas dan hak atas lahan.
- Perarem berfungsi sebagai keputusan sementara yang menyesuaikan dengan keadaan tertentu.
Semua keputusan diambil melalui musyawarah — sangkepan Subak, yang menjadi ruang demokrasi tradisional penuh rasa hormat. Dalam forum ini, setiap petani setara. Tak ada yang lebih tinggi, sebab air mengalir untuk semua, bukan untuk sebagian.
Ritual dan Keagamaan: Pertanian sebagai Persembahan
Setiap tahap pertanian dalam Subak diiringi dengan upacara keagamaan. Sejak pengolahan tanah, penanaman, masa tumbuh, hingga panen dan penyimpanan gabah, selalu ada ritual suci yang dilakukan bersama.
Misalnya upacara Ngerestiti untuk memohon kesuburan tanah, Ngusaba Nini untuk menghormati Dewi Padi, dan Nganyarin untuk bersyukur atas hasil panen.
Bagi petani Bali, bekerja di sawah adalah bagian dari karma yoga — bekerja tanpa pamrih sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Maka, menanam padi bukan sekadar mencari rezeki, melainkan melaksanakan yadnya, persembahan suci bagi kehidupan.
Subak, Nafas Kehidupan Bali
Subak adalah simbol hidup masyarakat Bali — sistem sosial, spiritual, dan ekologis yang berpadu menjadi satu. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan hanya hasil kerja keras, tetapi juga hasil keseimbangan dan kebersamaan. Dalam Subak, manusia belajar rendah hati di hadapan alam, bekerja bersama sesama, dan berdoa kepada Tuhan dengan penuh rasa syukur.
Ketika air mengalir di pematang sawah dan padi melambai di bawah sinar matahari, di sanalah harmoni semesta menampakkan wajahnya.
Subak bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi jalan masa depan bagi dunia yang haus akan keseimbangan dan kebersamaan.
“Air bukan sekadar sumber kehidupan, melainkan doa yang mengalir. Dalam Subak, manusia, alam, dan Tuhan bersatu dalam irama suci yang sama.”
— Ngurah Ambara | Redaksi InfoDewataNews

0Komentar