TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark

Legenda Gunung Agung, Kisah Agung di Balik Puncak Suci Pulau Bali

👤 Ngurah Ambara | InfoDewataNews    ðŸ•’ Senin, November 24, 2025
Gambar Utama

Ilustrasi Badawangnala melayang membawa gunung suci, dililit tiga naga sakral: Naga Anantaboga berwarna merah, Naga Taksaka berwarna hijau, dan Naga Basuki berwarna kuning. Visual fantasi-realistik yang menggambarkan kekuatan kosmik dalam legenda Bali. Visual AI Ambara/InfoDewataNews. 


INFODEWATANEWS.COM - Gunung Agung bukan sekadar gunung tertinggi di Bali. Ia adalah nadi spiritual, pusat kesucian, dan puncak yang menyimpan kisah agung yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur Bali. Terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Gunung Agung sejak dahulu diyakini sebagai tempat bersemayamnya Batara Mahadewa atau Hyang Tolangkir. Kehadirannya bersanding dengan Pura Besakih – pura terbesar dan tersuci di Bali – menjadikan kawasan ini sebagai wilayah sakral yang dihormati oleh masyarakat Hindu. Bagi siapa pun yang datang atau mendaki, ada aturan adat dan etika suci yang wajib ditaati.

Namun, di balik keelokan alam dan atmosfer spiritual yang kuat, Gunung Agung menyimpan sebuah legenda yang tak kalah megah. Sebuah kisah yang tertulis dalam lontar kuno, menjadi saksi perjalanan pulau Bali hingga mencapai keseimbangan seperti sekarang. Inilah kisah asal-usul Gunung Agung menurut Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana.

Ketika Bali Masih Bergoyang Tanpa Penyangga

Pada masa awal, Balidwipa (sebutan kuno untuk Bali) digambarkan seperti perahu tanpa kemudi. Pulau ini belum stabil, bergerak oleng, terombang-ambing di tengah lautan luas.

Pada saat itu, Bali hanya memiliki beberapa gunung sebagai penyangga: Gunung Lempuyang di timur, Gunung Andakasa di selatan, Gunung Batukaru di barat, dan Gunung Beratan (Pucak Mangu) di utara. Meski demikian, keempat gunung tersebut belum cukup untuk menegakkan keseimbangan pulau secara sempurna. Bali masih bergetar, seolah mencari pusat keselarasan.

Dalam Lontar Raja Purana Sasana Candi Sapralingga Bhuana disebutkan, melihat ketidakseimbangan ini, Dewa Pasupati, yang bersemayam di Gunung Mahameru, turun tangan. Dari puncak Gunung Mahameru di India, gunung yang menjadi poros kosmik, Dewa Pasupati kemudian mencabut bagian puncaknya. Puncak suci tersebut kemudian dibawa ke Pulau Jawa dan ditetapkan sebagai Gunung Semeru, gunung tertinggi sekaligus pusat spiritual Pulau Jawa, yang juga dikenal sebagai Paku Pulau Jawa, penyangga dan penjaga keseimbangan pulau.

Untuk menjaga keseimbangan jagad Balidwipa, beliau kemudian memerintahkan para dewa memindahkan bagian puncak Gunung Semeru dari Jawadwipa (sebutan kuno untuk Pulau Jawa) ke Balidwipa. Bagian suci ini kelak menjadi fondasi yang menstabilkan pulau, menegaskan peran Bali sebagai pulau yang selaras antara langit, bumi, dan kekuatan para dewa.

Pemindahan Puncak Semeru ke Bali

Dengan kekuatan agungnya, para dewa mengangkat puncak Gunung Semeru. Puncak tersebut ditempatkan di punggung Badawangnala, sang kura-kura raksasa penjaga bumi. Naga Anantaboga, Naga Taksaka, dan Naga Basuki diutus untuk mengikat dan menjaga agar puncak tersebut tetap stabil selama perjalanan menuju Bali.

Namun, perjalanan itu tidak berlangsung mulus. Ketika dibawa melintasi lautan menuju Balidwipa, sebagian bongkahan dari puncak gunung itu terjatuh. Bongkahan itulah yang kemudian menjadi Gunung Batur, gunung kedua yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Bali hingga hari ini.

Setibanya di Balidwipa, puncak Gunung Semeru ditempatkan di bagian timur laut pulau dan dinamakan Gunung Tohlangkir, yang kini dikenal sebagai Gunung Agung. Sejak saat itu, pulau Bali menjadi stabil, tidak lagi terombang-ambing. Inilah awal dari keberadaan Sad Palingga Giri, enam gunung suci penyangga keseimbangan Bali.

Lahirnya Tri Lingga Giri dan Sapta Lingga Sari

Setelah Bali mantap, Dewa Pasupati memerintahkan tiga putranya turun ke Balidwipa untuk menjadi pelindung raja-raja dan masyarakat Bali. Mereka adalah:

  • Dewa Hyang Gnijaya bersthana di Gunung Lempuyang
  • Dewa Hyang Putrajaya bersthana di Gunung Agung
  • Dewi Danu bersthana di Gunung Batur

Ketiganya dikenal sebagai Tri Lingga Giri, tiga pusat kesucian utama yang menjaga keseimbangan alam dan spiritual Bali.

Agar tatanan alam dan jagad Bali menjadi sempurna, Dewa Pasupati memerintahkan putra-putranya untuk bersthana di Balidwipa. Mereka adalah: Dewa Hyang Tumuwuh di Gunung Watukaru, Dewa Hyang Manik Gumawang di Gunung Beratan (Pucak Mangu), Dewa Hyang Manik Galang di Pejeng, Dewa Hyang Tugu di Gunung Andakasa, dan Naga Basuki yang diperintahkan mendampingi Dewa Hyang Putrajaya di Gunung Tohlangkir (sekarang Gunung Agung).

Sejak saat itu, di Bali dikenal adanya Sapta Lingga Sari, tujuh stana suci yang selaras dengan konsep ajaran Upaweda, sebagai tempat bersthana putra-putra Dewa Pasupati.

Hingga kini, masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa Gunung Agung adalah tempat bersemayamnya para dewa, sekaligus lokasi istana dewata. Karena kesucian dan kedudukannya yang sakral, gunung ini dijadikan tempat kramat yang dihormati dan disucikan oleh umat.

Gunung Agung sebagai Tempat Bersemayamnya Para Dewa

Hingga kini, masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa Gunung Agung adalah pusat spiritual tertinggi, istana para dewa, tempat berlangsungnya kegiatan kosmik yang tak terlihat oleh mata manusia.

Karena kesuciannya itulah, siapa pun yang ingin mendaki Gunung Agung penting untuk menghormati adat dan keyakinan lokal. Sadari bahwa Anda berada di area suci, dan sikap serta perilaku harus mencerminkan rasa hormat terhadap kepercayaan Hindu Bali. Menjaga sikap dan perkataan menjadi hal utama: dilarang berkata-kata kotor, berteriak-teriak, atau melakukan tindakan yang tidak pantas. Suasana harus tetap tenang, penuh hormat, dan selaras dengan kesakralan tempat ini.

Nilai sakral ini menekankan rasa hormat manusia terhadap alam dan para dewa, serta kesadaran bahwa setiap tempat suci menyimpan kekuatan ilahi yang harus dihormati. Setiap pendakian bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual, di mana hati dan pikiran diselaraskan dengan energi sakral yang mengalir di Gunung Agung.

Sebelum memulai pendakian, biasanya dilakukan upacara persembahyangan di kaki gunung, sebagai wujud penghormatan dan permohonan restu. Upacara ini menegaskan hubungan manusia dengan alam dan dewa, menyeimbangkan energi spiritual antara langit, bumi, dan manusia.

Dengan demikian, Gunung Agung bukan sekadar gunung fisik, tetapi pintu gerbang menuju alam spiritual, simbol keselarasan kosmik dan tempat di mana manusia belajar memahami kebijaksanaan, kesabaran, serta tanggung jawab terhadap keseimbangan alam semesta. Setiap langkah di lerengnya, setiap hembusan napas, menjadi bagian dari pengalaman yang menyadarkan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari harmoni besar yang dijaga para dewa.

Kisah Agung yang Terus Hidup

Legenda Gunung Agung bukan sekadar cerita asal-usul. Ia adalah identitas, fondasi spiritual, sekaligus pengingat bahwa pulau Bali berdiri di atas keseimbangan antara alam, manusia, dan para dewa. Gunung Agung bukan hanya puncak tertinggi, tetapi juga simbol keagungan, perlindungan, dan kesucian.

Setiap kali masyarakat Bali memandang puncaknya yang menjulang, mereka tidak hanya melihat gunung, tetapi juga warisan suci yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan melalui kisah ini, kita diajak memahami bahwa keindahan Gunung Agung bukan sekadar panorama alam — tetapi kisah agung yang selalu hidup di hati umat Hindu Bali.

Gunung Agung adalah simbol abadi, tempat di mana langit, bumi, dan manusia bertemu, serta menjadi saksi betapa keagungan dan kesucian dapat membimbing kehidupan manusia menuju keharmonisan. Kisahnya terus hidup, bukan hanya dalam cerita atau upacara, tetapi juga dalam hati dan jiwa setiap orang yang menghormati warisan leluhur ini.

Penulis: Ngurah Ambara | Editor Redaksi


0Komentar

Copyright© - INFODEWATANEWS.COM . Develop by Komunitas Ngranjing.
Tentang Kami | Perjalanan Kami | Makna Logo | Privasi | Syarat dan Ketentuan | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Redaksi | Kontak Kami