TpOoBSG9TfCoGSd9TpY5GfC8Ti==
Light Dark

Kain Gringsing Tenganan, Warisan Sakral Bali Aga yang Mendunia

👤 Ngurah Ambara | InfoDewataNews    🕒 Jumat, Juni 06, 2025
Gambar Utama


Kain gringsing Tenganan dikenakan para gadis dalam ritual budaya, menjadi simbol warisan sakral Bali Aga. (Foto: majalahbali.com)


INFODEWATANEWS.COM, Karangasem  - Kain gringsing merupakan salah satu karya tenun paling istimewa yang hanya bisa ditemukan di Desa Tenganan, Karangasem, Bali. Desa adat yang dikenal sebagai salah satu komunitas Bali Aga ini berhasil menjaga warisan leluhur mereka dengan penuh ketekunan. Tidak hanya sebagai penutup tubuh, gringsing memiliki kedudukan sakral dalam kehidupan masyarakat Tenganan karena dipercaya mampu melindungi pemakainya dari mara bahaya dan penyakit.

Keistimewaan kain gringsing tidak hanya terletak pada maknanya, tetapi juga pada teknik pembuatannya. Gringsing ditenun dengan teknik dobel ikat atau double ikat, sebuah metode yang sangat langka di dunia. Hingga kini, teknik ini hanya ditemukan di tiga tempat: Desa Tenganan di Bali, Gujarat di India, dan Oshima di Jepang. Inilah yang menjadikan kain gringsing begitu istimewa dan bernilai tinggi.

Sejarah dan Makna Filosofis

Menurut cerita masyarakat setempat, teknik menenun gringsing pertama kali diajarkan oleh Dewa Indra, yang dikenal sebagai Dewa Perang. Terinspirasi dari keindahan langit malam, Dewa Indra mengajarkan pola-pola geometris yang kemudian diterjemahkan para perempuan Tenganan ke dalam motif kain. Motif tersebut melambangkan bintang, bulan, matahari, dan langit luas yang penuh misteri.

Nama gringsing sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Bali: “gering” yang berarti sakit, dan “sing” yang berarti tidak. Dengan demikian, gringsing dimaknai sebagai penolak penyakit atau penolak bala. Kain ini dipercaya mampu melindungi pemakainya dari gangguan gaib maupun penyakit jasmani. Tidak mengherankan jika kain gringsing selalu digunakan dalam upacara adat penting di Tenganan, seperti pernikahan, potong gigi, hingga tradisi perang pandan atau mekare-kare .

Desa Tenganan dan Tradisi Sakral

Desa Tenganan sendiri dikenal sebagai desa adat yang masih memegang teguh ajaran Hindu Bali Aga. Warganya menyembah Dewa Indra sebagai dewa tertinggi, sekaligus menjunjung tinggi nilai keberanian. Hal ini terlihat jelas dalam tradisi tabuh rah atau perang pandan, sebuah ritual unik di mana para lelaki bertarung menggunakan daun pandan berduri sebagai senjata.

Dalam tradisi ini, darah yang menetes dianggap sebagai persembahan suci kepada Dewi Pertiwi. Kain gringsing kerap digunakan dalam rangkaian upacara tersebut karena dipercaya memberi perlindungan spiritual kepada peserta maupun masyarakat desa. Dengan begitu, kain gringsing bukan hanya benda pakai, tetapi juga simbol sakral yang menyatu dengan kehidupan religius masyarakat Tenganan.

Proses Pembuatan yang Rumit dan Panjang

Membuat selembar kain gringsing bukan perkara mudah. Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun, tergantung pada ukuran dan kerumitan motif. Semua tahap dikerjakan dengan tangan, tanpa bantuan mesin modern.

Bahan dasar benang diperoleh dari kapas berbiji tunggal yang didatangkan dari Pulau Nusa Penida. Setelah dipintal, benang direndam selama 40 hari hingga satu tahun agar lebih halus dan kuat. Setelah itu barulah masuk ke tahap pengikatan motif dan pewarnaan.

Menariknya, semua pewarna yang digunakan berasal dari bahan alami. Warna merah diperoleh dari akar mengkudu yang dicampur dengan kulit pohon tertentu, kuning dari minyak kemiri yang sudah tua dicampur abu kayu, dan hitam dari perpaduan indigo dengan akar mengkudu. Kombinasi warna merah, kuning, dan hitam ini tidak sembarangan, karena masing-masing melambangkan penghormatan kepada Tri Murti: Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Setelah proses pewarnaan selesai, barulah benang ditenun dengan teknik dobel ikat. Teknik ini mengharuskan pola di benang lungsi (benang vertikal) dan pakan (benang horizontal) sudah diwarnai sebelumnya, lalu disilangkan dengan presisi sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan, karena jika satu garis saja meleset, seluruh motif akan rusak.

Harga dan Nilai Koleksi

Karena prosesnya yang panjang dan tingkat kesulitannya sangat tinggi, kain gringsing dihargai sangat mahal. Sebuah kain gringsing bermotif wayang dengan ukuran 150 cm x 50 cm bisa mencapai harga puluhan juta rupiah, bahkan hingga Rp35 juta per lembar.

Meski harganya fantastis, kain ini tetap banyak dicari oleh kolektor dan pecinta tekstil tradisional, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bagi mereka, memiliki kain gringsing berarti menyimpan sepotong warisan budaya dunia yang otentik dan sarat makna spiritual.

Warisan yang Tetap Dijaga

Hingga kini, masyarakat Desa Tenganan tetap menjaga tradisi menenun kain gringsing secara turun-temurun. Para perempuan desa diajarkan sejak kecil untuk menguasai teknik ini, meskipun hanya sedikit yang benar-benar mampu menyelesaikan kain dengan kualitas terbaik.

Keaslian kain gringsing sangat dijaga. Proses pembuatan, motif, hingga aturan adat dalam penggunaannya tidak boleh dilanggar. Dengan cara ini, gringsing tidak hanya bertahan sebagai produk kerajinan, tetapi juga tetap hidup sebagai bagian dari identitas dan keyakinan masyarakat Tenganan.

Dengan segala makna dan keindahannya, kain gringsing tidak sekadar tenun, tetapi simbol keberanian, perlindungan, dan keabadian tradisi Bali Aga. Tak heran jika kain ini terus menarik perhatian dunia, sekaligus menjadi bukti nyata betapa kayanya warisan budaya Indonesia.

📝 Punulis : Ngurah Ambara 

0Komentar

Copyright© - INFODEWATANEWS.COM . Develop by Komunitas Ngranjing.
Tentang Kami | Perjalanan Kami | Makna Logo | Privasi | Syarat dan Ketentuan | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Redaksi | Kontak Kami