![]() |
Tradisi Gebug Ende dari Karangasem, Bali(Doc.warisanbudaya.kemdikbud.go.id) |
INFODEWATANEWS.COM, Karangasem - Gebug Ende atau disebut juga gebug seraya adalah salah satu tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Desa Seraya di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Dahulu, Gebug Ende adalah sebuah permainan tradisi yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki baik anak-anak hingga dewasa. Selain tradisi ini merupakan permainan rakyat, Gebug Ende juga dipercaya merupakan tradisi sacral masyarakat Desa Seraya untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta.
Biasanya masyarakat Desa Seraya melaksanakan ritual Gebug Ende saat musim kemarau tiba, pada Sasih Kapat menurut perhtungan bulan Bali, sekitar bulan Oktober-Nopember. Tradisi Magebug (bermain Gebug) ini biasanya dilakukan setelah pulang dari berladang, pada siang/sore hari saat menjelang musim tanam.
Seiring perkembangan jumlah orang yang memainkan Gebug Ende ini semakin berkurang. Gebug Ende erat kaitannya dengan ketangkasan, kemahiran memainkan rotan dan kekuatan masyarakat di Desa Seraya yang dikenal memiliki kekuatan fisik dan ketangkasan dibalik keadaan geografis daerahnya yang kering.
Gebug Ende
berasal dari kata Gebug dan Ende,Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat
yang digunakan untuk menangkis (tameng). Alat yang digunakan untuk memukul
adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 meter hingga 2 meter.Sedangkan Ende/
alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam
berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira 2 kali panjang siku orang dewasa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gebug
Ende merupakan salah satu permainan yang menjadi tradisi masyarakat Desa Seraya
yang dimainkan oleh dua orang lelaki baik dewasa maupun anak-anakyang sama-sama
membawa ende dan penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang.Tehnik
yang dibutuhkan adalah memukul dan menangkis.
Gebug Ende ini bisa dimainkan dimana saja disesuaikan dengan kondisi, tidak menuntut areal yang luas, cukup minimal 6 m2. Umumnya masyarakat melaksanakan ritual ini di lapangan, atau di halaman pura asalkan permukaannya datar. Sementara untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton, lapangan dapat diberi pembatas dengan tali ataupun bambu sebagai pagar pembatas.
Sebelum permainan dimulai, masyarakat biasanya melaksanakan ritual persembahyangan untuk permohonan keselamatan sehingga permainan Gebug Ende ini dapat berjalan lancar dan memberikan kemakmuran serta memperoleh manfaat (turun hujan) bagi masyarakat Seraya. Kostum pemain Gebug Ende ini sangat sederhana. Cukup dengan bertelanjang dada (tanpa baju), Ikat kepala (destar) warna merah( merah sebagai simbol keberanian), Kain/Kamben, Saput hitam putih (poleng). Sedangkan untuk musik pengiringnya disebut dengan Tabuh Bebondangan yang terdiri dari: sepasang kendang, sepasang reong, ceng-ceng kecil (rincik) dan seruling.
Setelah
persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. Pembukaan
diawali dengan ucapan selamat datang untuk para pemain dan penonton. Selain itu
terselip pula pembekalan berisi nasihat dan aturan main bagi para pemain untuk
selalu mengedepankan kejujuran dan sportifitas. Suara tabuh/gamelan
menambah semarak dan khidmatnya permainan. Dua orang wasit yang disebut juru
kembar/ saya (baca:saye) berperan sebagai peminpin pertandingan. Mereka inilah
yang mempunyai tugas sebagai wasit untuk mengawasi permainan tersebut.
Sebelum
permainan dimulai, diadakan permainan pendahuluan oleh juru kembar (saya))
terlebih dahulu yang memperagakan Gebug Ende tersebut dan memberitahu uger-uger
atau batasan yang harus ditaati oleh para pemain. Hal ini hanya berlangsung
sebentar untuk memberikan rangsangan pemberi semangat kepada para pemain.
Aturan
permainan Gebug Ende ini amat sederhana, antara lain :
Pemain hanya boleh memukul diatas pinggang sampai kepala, tidak dibolehkan memukul di bawah pinggang sampai kaki.
Permainan
dapat usai bilamana satu pemain terdesak.
Ditengah
areal terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan
menjadi 2 bagian.
Umumnya
permainannya berlangsung singkat sekitar 10 menit. Tidak ada pernyataan resmi
dari saya dalam menentukan yang menang ataupun kalah, hanya penonton yang dapat
menilainya.
Biasanya
pertandingan Gebug Ende ini dimulai dengan pertandingan kelompok anak-anak,
setelah itu baru dilanjutkan dengan kelompok pria dewasa.
Tidak tampak
ketakutan pada semua pemain, dan rotan pun ditarikan diiringi dengan sorakan
penonton dan tabuh yang membuat suasana semakin semarak. Walaupun dalam
perkembangannya Gebug Ende ini sering ditampilkan untuk konsumsi komersial,
permainan ini tidak bisa disetting atau direkayasa karena dipercaya bahwa jika
hal tersebut dilakukan, akan membawa petaka bagi pemainnya.
Bagi masyarakat Desa Seraya, Gebug Ende merupakan tradisi yang diwarisi secara turun-menurun yang bertujuan untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta. Kepercayaan masyarakat bahwa Gebug Ende juga merupakan yadnya (pengorbanan yang tulus ikhlas) sehingga dipercaya bahwa semakin cepat darah menetes, maka akan semakin cepat turun hujan
(Sumber Disbudpar Karangasem)
0Komentar